Lebaran, Perdamaian dan Penghormatan Sesama Manusia
July 04, 2016
Dear kawan…
Apa kabar? Aku harap kalian selalu dalam keadaan sehat dan dipenuhi
kebahagian. Setelah setahun bergelut dengan aktifitas kerja, sebentar lagi
kalian merayakan hari besar. Hari kemenangan. Oh ya, gimana puasanya? Lancar?
Aku kira, kalian selalu berusaha menunaikan ibadah sebaik-baiknya. Semoga Tuhan
menerima ketulusan ibadah itu.
Begini kawan-kawan sekalian, menjelang lebaran kali ini, ingatanku
bergerak mundur: membayangkan pengalaman lebaran bersama kalian. Misalnya saja,
ketika kita berkunjung ke rumah-rumah untuk mendapatkan uang receh atau sekedar
minum koka-kola. Kita tak harus kenal si tuan rumah. Pokoknya, tiap pintu
terbuka, di situ selalu ada kesempatan.
Apa kalian pernah hitung berapa rumah yang kita kunjungi dalam sehari? Puluhan?
Ratusan? Entahlah. Yang jelas, petualangan dari siang hingga malam bisa diukur
dengan ratusan ribu uang di kantong dan perut yang terasa kembung. Setelah itu,
kita mulai berkumpul di rental playstation,
main winning eleven, tertawa lalu
mengumbar beberapa makian. Jahanam betul!
Beranjak remaja, ritual mengunjungi rumah sudah tidak lagi dilakukan.
Kita hanya bertemu di tempat nongkrong, berpegangan tangan untuk
bermaaf-maafan, lalu kembali lagi main playstation.
Tapi, ada juga hal menarik yang lekat dalam ingatanku. Pernah, suatu
kali, ketika membangunkan orang untuk sahur, kalian teriaki kamarku. “OM, TANGI, OM, SAHURRR!!!”
Dulu, tindakan itu terkesan remeh. Tapi, kini, aku merasa bangga… Aku
selalu diingat ketika kalian memandang ke atas, di sebuah kamar yang terlihat
suram.
Apa kalian masih ingat, tiap selesai sholat tarawih, kita sering
nongkrong dan mbadok bareng makanan
yang kalian bawa dari masjid? Iya. Kita makan di dekat patung seorang pejuang
yang memegang bambu runcing. Patung yang kabarnya pernah lelah berdiri lalu
memutuskan sedikit berjalan, mungkin sekedar melemaskan otot kaki. Masih adakah
patung itu?
Kebersamaan di masa itu menunjukkan betapa dewasanya pikiran kita
sebagai manusia. Aku tak berlebihan, kawan. Kita beranjak remaja dan dewasa,
ketika negara ini diporak-porandakan perang saudara. Sebut saja, tragedi Poso, Maluku,
Maluku Utara hingga Sampit. Belum lagi, ledakan bom di beberapa tempat,
misalnya Bali dan Jakarta yang berdampak korban tewas.
Kita pernah saksikan bagaimana konflik – yang dikemas dengan isu agama –
ditayangkan berulang kali di televisi dan mendengar kebencian dihembuskan
begitu kuat di telinga. Tapi ternyata, bencana kemanusiaan di tempat-tempat
tadi, tidak bisa mengacaukan perdamaian di otak kita.
Memang, sampai saat ini, beberapa kelompok masih menyebarkan kebencian
dan sinisme. Mereka punya pandangan berbeda soal keberagaman. Bagi mereka,
perdamaian baru bisa terwujud jika telah berhasil menumpas perbedaan-perbedaan.
Tentu saja itu konyol. Dengan dominasi, kita hanya akan menyaksikan perdamaian yang
dibangun di atas pembungkaman ide, gagasan dan keyakinan.
Namun, dalam dunia yang penuh kebencian, kita selalu punya harapan. Di
tiap sentiment etnis dan golongan, kita selalu punya rujukan tokoh-tokoh yang
mengajak umatnya untuk menahan diri, berpikir jernih dan memelihara perdamaian.
Setahuku, banyak di antara kalian mengidolakan Gus Dur – cendikiwawan
yang punya wawasan kemanusiaan dan mampu membuat perbedaan jadi pilihan yang
harus dihormati. Buatku, beliau adalah tokoh lintas agama dan panutan seluruh
umat yang ingin mempertahankan perdamaian. Di saat ujaran-ujaran kebencian
mengepung, tokoh seperti Gus Dur menjadi harapan tentang bukan mustahilnya
kehidupan yang harmonis.
Belakangan, aku sempatkan diri membaca beberapa artikel yang pernah ditulis
Gus Dur. Soal perdamaian, ia tak sungkan-sungkan mengedepankan tokoh-tokoh
seperti Uskup Agung Helder Camara, Mahatma Gandhi hingga Romo Mangun. Ia tak pernah
mempersoalkan perbedaan agama. Sebab, kata Gus Dur, cinta kasih dan keimanan
mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme.
Dari gagasan-gagasan almarhun Gus Dur, saya semakin yakin, penghormatan
pada sesama manusia, seharusnya tidak perlu memandang status sosial, perbedaan
agama. Toh, demikian kutipan Gus Dur yang tersohor itu, ketika kamu bisa
melakukan hal-hal baik, orang tidak akan menanyakan apa agamamu?
Nah, di sini, aku juga bertemu orang-orang baik yang dimaksud Gus Dur. Mereka
yang tidak pernah mempersoalkan perbedaan agama dan latar belakang sosial. Mereka
melihat dan menyikapi pertemanan secara tulus. Kepada mereka juga, surat ini ditujukan.
Aku ceritain sedikit. Di kota Manado, ada sebuah bangunan bernama Daseng
Panglima, yang merupakan sekretariat Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra)
Sulawesi Utara. Di sana, aku pernah tinggal bersama orang-orang yang berbeda agama
dan sama sekali tidak pernah mempersoalkannya.
Mereka mengajariku bertindak tulus dan memandang manusia sebagai
manusia. Contohnya, di saat mereka puasa, kami sama-sama sahur. Kemudian,
mereka memberi makan siang kepadaku dan beberapa teman yang tidak puasa. Sorenya,
ketika waktu berbuka tiba, kami kembali makan bersama.
Bukan hanya tolerir, mereka bahkan mau berbagi makanan kepada
orang-orang, justru di saat mereka sedang berpuasa. Aku pikir, tindakan-tindakan
seperti itu hanya bisa dibuat oleh orang-orang yang punya kedewasaan iman.
Sebagai seorang non muslim, aku juga punya kenangan tentang lebaran. Dan
kenangan tentang itu berputar-putar pada suasana damai, ketulusan berbuat, hingga
sikap dan perilaku yang memanusiakan manusia.
Kawan, saat ini, aku berharap kalian selalu diselimuti suasana pikir
yang damai, tetap menebar kebaikan pada orang-orang terdekat, serta mampu
menepis hasutan-hasutan. Dengan begitu, aku bayangkan, perayaan hari raya akan
lebih sempurna.
Oh ya, barangkali beberapa di antara kalian sudah tiba di rumah dan berkumpul
bersama keluarga. Ah, betapa menyenangkannya. Aku titip salam untuk seluruh
orang di rumah, ya. Aku juga kangen sama mereka.
Beberapa hari lalu, aku juga sempat telponan dengan ‘Ambon’. Dia
bilang, kawan-kawan telah menemukan suksesnya masing-masing. Sudah banyak yang
nikah dan punya anak-anak yang lucu. Aku yakin kalian bisa menjadi orang tua
yang bijak membimbing keluarga.
Jika ada kesempatan bertemu, aku akan sampaikan pada istri dan anakmu,
tentang kebengisian masa remaja kita: berkelahi, bolos sekolah, judi bola,
nonton bokep atau soal kekasih-kekasihmu waktu SMA. Semoga kalian tidak
keberatan.
Jangan marah. Aku rasa, membungkus masa lalu dengan cerita-cerita lucu,
bisa jadi bahan percakapan yang menarik. Ya wajar sajalah. Sebagai pemuda yang belum
nikah, apalagi punya anak, agaknya kurang tepat mendiskusikan urusan uang
belanja istri atau soal mendidik anak dengan baik. Yang bisa kuceritakan ya itu
tadi: aib masa remaja.
Tapi, belum sekarang. Nanti saja, kalau kita bertemu.
Sekarang, persiapkan saja diri sebaik-baiknya menyambut hari raya. Jangan
lupa uang receh. Pasti ada anak-anak yang akan singgah ketika pintu rumah
terbuka.
Selamat idul fitri 1437 Hijriah!
Minal Aidin Wal Faizin. Mohon
maaf lahir-batin.
***
Sumber gambar: szaktudas.com
0 comments